Dipaksa Bungkam
Juni 2025
Negara ini sedang tidak baik-baik saja. Jangankan Negara, tempat saya belajar pun mengalami krisis yang sulit dikritisi. Setidaknya bagi saya, yang sudah menempuh hampir 4 tahun pendidikan. Sistem telah berubah, manusia tidak berubah. Selalu serakah, egois, kepentingan diri selalu yang utama. Aturan yang dibuat seolah memanusiakan, tetapi sejatinya diam-diam menjadi bumerang bagi kami yang sedang belajar. Tampaknya dunia mulai bergoncang, dimulai dari gencatan kaum pelajar tak berdaya.
Dipaksa bungkam.
Walaupun media kritik disediakan, tanpa argumen dan dalil yang jelas akan tak berarti. Hampa seperti debu tertiup angin sepoi-sepoi. Keberadaannya tidak dihirau orang. Lenyap bersama hembusan udara. Begitulah yang terjadi pada tiap zaman. Tidak ada ceritanya sekumpulan kaum tak berdaya dapat bersanding dengan seorang tuan raya. Menampakkan wajah saja kami segan, apalagi menunjukkan kegelisahan.
Hei, Lihatlah! Para tuan saling bertengkar memilih tempat paling baik untuk kami. Berdalih menentukan yang terbaik dalam kehidupan ini. Setidaknya menurut mereka. Narasi kami tidak dianggap, tetapi hidup harus terus berjalan. Pekerjaan, perjuangan, tetes peluh nadi kami dibiarkan terburai. Hati kami lirih mendapati tiada tempat untuk berteriak minta tolong. Satu hal yang kami impikan, yaitu keluar dari sini dengan diam. Seolah tak pernah terjadi apa-apa.
Kuk yang menempel sudah menjadi rutinitas yang tak perlu diindahkan lagi. Kalau perlu, ditambah berkali lipat. Pekerja sukarela yang tak punya daya. Dipaksa bungkam.
Di sisi lain, pada perjalananya, praktik klinis dibatasi. Buku-buku tebal menjadi sebagian besar makanan kami. Kertas yang dibuat sejatinya hanya membuat kami keluar dari tempat ini. Berhamburan, tanpa makna. Yang kutakutkan, inkompetensi merajalela. Kami tak lagi menghadapi manusia, tetapi buku tebal yang dulu pernah kami hafalkan. Empati memang menguras tenaga. Percakapan tidak perlu membuat bising telinga. Suatu saat akan digantikan lempengan besi dingin yang penurut seperti anjing rumahan. Mungkin itu tujuan sesungguhnya. Pikiran kami mengganggu jalannya kekuasaan.
Dipaksa bungkam.
Kalaupun kami diam, bukan berarti tidak punya suara. Selama otak ini masih bisa berjalan, aku harap generasi di depan kami membuka jalan. Mengesampingkan posisi ego yang dianggap 'benar'. Akan sangat mengerikan bila inkompetensi berakar kuat di antara kita. Terhalang batu-batu besar para tuan raya. Siapa yang tahu bilamana nanti hujan badai datang, menghancurkannya hingga rata dengan tanah. Akankah Negara ini bisa selamat dari kehancuran bangsanya?
Comments
Post a Comment