The Winner Stands Alone



Hari ini aku menemukan beberapa buku lama dari rak meja belajarku yang sudah lama tak kugunakan sejak menjadi mahasiswa. Buku-buku karangan Paulo Coelho selalu menarik perhatianku. Teringat bagaimana buku-buku itu mengisi waktuku pada saat sibuknya ujian dan lengangnya liburan. Buku Paulo Coelho yang paling kusuka adalah ‘The Winner Stands Alone’. Tak kutemukan buku itu di rak. Kuputarkan kembali memori lama dan mencoba mengingat kejadian lampau tentang apa yang terjadi pada buku itu. Tiba-tiba sarafku bergejolak, seperti kejutan listrik, aku tersadar akan keberadaan buku itu: ada pada saudara sepupuku di Berlan. Aku yang menyuruhnya membaca buku itu karena kami memiliki selera yang sama. Aku tersenyum. Betapa buku itu sangat unik karena tokoh utama yang ‘dianggap’ jahat bertahan sampai akhir cerita dimana cerita pada umumnya menghidupkan tokoh protagonis. Kupikir mengapa si pengarang membuat cerita seperti itu. Lalu aku berasumsi sendiri (karena sebuah tulisan adalah hasil pemikiran penulis dengan tafsir yang berbeda-beda pada setiap pembaca) bahwa si penulis ingin menampilkan gejolak batin tokoh utama yang gila, yaitu hasrat membunuh dunia demi seseorang yang dicintai. Namun, pada akhirnya tokoh utama, sang pemenang, the winner, berdiri sendirian dalam kesepian. Dan kupikir hal yang paling memiriskan hati adalah ketika kita merasa tidak seorang pun peduli pada kita. Itu jauh lebih menyedihkan daripada kelaparan atau kehausan, tidak punya pekerjaan, patah hati, pasrah, dan perasaan menyakitkan lainnya. Aku menunggu buku itu dikembalikan suatu saat nanti agar aku bisa menceritakan kisahnya pada kalian.

Aku mengambil salah satu buku yang berisi buah-buah pikiran Paulo Coelho. Benar-benar aku sangat menyukai buku-buku beliau J dan salah satunya tentang Arti Penting Sebuah Gelar. Kadang kita begitu terpikat pada cara hidup kita, sehingga kita menolak kesempatan yang sangat bagus hanya karena kita tidak tahu harus diapakan kesempatan itu nantinya. Kebanyakan orang-orang yang tinggal di kota, mereka semua meyakini bahwa mereka harus mengantongi gelar akademik, menikah, mempunyai anak-anak, menyekolahkan anak-anak mereka sampai menyandang gelar akademik juga, dan seterusnya, dan seterusnya…Tidak ada yang bertanya pada diri sendiri, ‘Bisakah aku melakukan sesuatu yang berbeda?’

Aku teringat penjual sayur keliling langganan mama yang bekerja siang-malam menjual sayuran dan makanan kecil supaya anak-anaknya bisa lulus perguruan tinggi dan memperoleh gelar. Akhirnya anak-anaknya lulus semua, mencari lowongan pekerjaan, dan bekerja pada suatu perusahaan. Tentu saja ia merasa bangga dengan anak-anaknya yang memiliki gelar, tidak seperti dirinya yang lulus sekolah pun tidak. Sebagian besar temanku menempuh pendidikan tinggi dengan tujuan yang sama: memperoleh gelar. Begitu pula dengan sebagian besar kerabat.

Tetapi belum tentu mereka mendapatkan jenis pekerjaan yang mereka inginkan. Kebanyakan orang masuk universitas karena seseorang berkata – masa-masa ketika masuk universitas sangatlah penting – bahwa supaya bisa mendapatkan tempat yang mapan di dunia, orang harus memiliki gelar. Dengan demikian, dunia ini kehilangan kesempatan untuk memiliki orang-orang yang sebenarnya adalah tukang bangunan yang hebat, pembantu rumah tangga yang hebat, tukang roti, pedagang, pematung, penulis. Aku seolah kembali diingatkan dan merenungkannya. Para dokter, insinyur, ilmuwan, dan pengacara memang perlu belajar di universitas, tetapi apakah setiap orang juga perlu berbuat seperti itu?

Dua jalan bercabang di dalam hutan, dan aku…
Kupilih jalan yang jarang ditempuh,
Dan perbedaanya besar sungguh

Comments

Popular Posts