Perempuan di atas tanah
Telah 85 tahun menjajaki kaki di bumi Indonesia. Melihat pahit, manis, asam, garamnya air dan udara.
Hidup yang tidak sebentar, melewati harapan hidup kebanyakan orang.
Jika menjadi tua adalah bagian tersial, maka Opung tidaklah demikian.
Ia menjadi wanita merdeka di sepanjang usianya. Terbelenggu patriarki budaya, tidak menghalangi hidupnya.
Walaupun perempuan tidak memiliki tempat bahkan untuk menyandang posisi 'anak', ketekunan dan harapan akan Tuhan Sang Pemelihara dipegang teguh dan membawanya ke lembah tertinggi.
I. Hamoraon (kekayaan).
Ia telah menjadi kaya dengan tidak pernah merasa kekurangan. Syukur atas nikmat kehidupan yang telah dijanjikan Tuhan.
Jika satu roti dan 2 ikan cukup memberi makan 5000 orang, maka cukuplah bagiannya. Tidak lebih, tidak kurang. Cukup. Emas, perak, dan berlian tidak menjadikan kalian kaya.
Tiada habis keserakahan orang yang bergelimang harta. Ujung hidupnya sudah ditentukan oleh Sang Maha Kuasa.
II. Hagabeon (keturunan).
Sakit bersalin adalah hal yang tidak dapat ditangguhkan bagi wanita. Ia menempuh jalan yang panjang dengan tidak berlarut dalam kesakitan. Tuhan hadir dalam 9 sosok anak kecil yang kian lama bertumbuh besar, mencari makan sendiri, menghidupi perjalanannya sendiri.
Bekal yang ditanamkan bukanlah padi dan kapas, apalagi emas, seperti yang diagung-agungkan kebanyakan orang. Hanyalah iman sebesar biji sesawi dan kasih, berakar kuat ke dalam tanah yang subur, hingga bertumbuh besar dan menampakkan buahnya.
Mungkin, tidak semua berbuah besar, ada yang kecil dan sedang. Namun, rasanya sama nikmatnya, menyegarkan musafir di jalan, menjadi makanan hewan-hewan di padang, menghilangkan lapar bagi yang kelaparan.
III. Hasangapon (kehormatan).
Bagaimana mungkin wanita bisa menjadi yang paling dihormati di sini? Pikirku, wanita akan selalu menjadi kaum marginal, tanpa debat. Namun, ia bisa menjadi terhormat bukan karena ia wanita.
Tutur dan laku menjadikan ia dihormati. Bukan sebagai sosok otoriter yang ditakuti, tetapi penolong dan pengayom. Walaupun juga banyak kerikil-kerikil yang membuatnya terseok dalam langkah buruknya, ia bangkit agar tidak jatuh kembali.
Tuhan tidak menjamin kehidupan akan selalu menyenangkan. Kuk yang Tuhan pasang akan selalu terasa berat jika dipikul sendirian. Tuhan selalu mengulurkan tangan-Nya bagi kita untuk bersama-sama berjalan sampai tujuan. Apalagi yang perlu ditakutkan?
Kisah Opung tidaklah sempurna, tidak juga megah. Hanya perempuan kampung, bercita-cita dengan malu dan penuh harap untuk kehidupan anak-anaknya lebih baik. Namun, ternyata Tuhan menghadiahkan jauh lebih besar daripada apa yang ia harapkan.
Jika kita saat ini, anak-anak, cucu-cucu, dan cicit-cicit Opung berkumpul, ingatlah bila bukan karena Tuhan, sia-sialah rumah. Rumah tempat kita kembali adalah tempat Tuhan hadir dan kepada-Nya lah kita boleh berseru, menangis, dan tertawa akan kehidupan.
Hingga saatnya nanti ajal mendekat, kita boleh berkata: "Aku telah mencapai garis akhir dan aku telah memelihara iman."
(dibacakan saat Perayaan Ulang Tahun Opung Bornok Boru ke-85, Jakarta, 31 Agustus 2025)
Comments
Post a Comment